Proses pembuatan lontar
Di
pulau Bali, daun-daun lontar sebagai alat tulis masih dibuat sampai sekarang.
Pertama-tama daun-daun pohon siwalan dipetik dari pohon. Pemetikan biasa
dilakukan pada bulan Maret/April atau September/Oktober karena daun-daun pada masa ini sudah tua. Kemudian
daun-daun dipotong secara kasar dan dijemur menggunakan panas matahari. Proses
ini membuat warna daun yang semula hijau menjadi kekuningan.
Lalu
daun-daun direndam di dalam air yang mengalir selama beberapa hari dan kemudian
digosok bersih dengan serbet atau serabut kelapa.
Setelah
daun-daun dijemur kembali, tapi sekarang kadang-kala daun-daun sudah dipotong
dan diikat. Lalu lidinya juga dipotong dan dibuang.
Setelah
kering daun-daun lalu direbus dalam sebuah kuali besar dicampur dengan beberapa
ramuan. Tujuannya ialah membersihkan daun-daun dari sisa kotoran dan
melestarikan struktur daun supaya tetap bagus.
Setelah
direbus selama kurang lebih 8 jam, daun-daun diangkat dan dijemur kembali di
atas tanah. Lalu pada sore hari daun-daun diambil dan tanah di bawah dedaunan
dibasahi dengan air kemudian daun-daun ditaruh kembali supaya lembap dan
menjadi lurus. Lalu keesokan harinya diambil dan dibersihkan dengan sebuah lap.
Lalu
daun-daun ditumpuk dan dipres pada sebuah alat yang di Bali disebut sebagai pamlagbagan.
Alat ini merupakan penjepit kayu yang berukuran sangat besar. Daun-daun ini
dipres selama kurang lebih enam bulan. Namun setiap dua minggu diangkat dan
dibersihkan.
Setelah
itu daun-daun dipotong lagi sesuai ukuran yang diminta dan diberi tiga lubang:
di ujung kiri, tengah, dan ujung kanan. Jarak dari lubang tengah ke ujung kiri
harus lebih pendek daripada ke ujung kanan. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda
pada saat penulisan nanti.
Tepi-tepi
lontar juga dicat, biasanya dengan cat warna merah. Lontar sekarang siap
ditulisi dan disebut dengan istilah pepesan dalam bahasa Bali dan sebuah lembar lontar disebut sebagai lempir
No comments:
Post a Comment